Sebenarnya kisah kita baik-baik saja. Ku tau kamu berhasil bangkit dari keterpurukanmu, ku
tau kamu berhasil mencintaiku tulus dari hatimu, itu semua ku lihat dari
rangkaian tulisanmu yang sudah mampu merubah luka menjadi bahagia, ku lihat
dari caramu yang berusaha membuatku tersenyum, Ku merasa bersyukur kamu hadir dalam
hidupku dan kulihat semua itu tulus. Andai boleh mengulang aku ingin kewaktu
itu, meski ku menahan sakit yang amat menyiksa tapi ku bahagia dengan senyum
tulus yang ku dapat dari hatimu.
Ku
sangka cintamu kuat, tapi ternyata lemah, sekejap mata perasaanmu berubah karna
tulisan seseorang dari masa lalumu. Entah apa yang ada dalam benakmu,. Dia
melepaskanmu tapi dia tak merelakanmu menjadi milik yang lain, entahlah disini
siapa yang harus disalahkan, kamu, aku atau siapa. Terkadang ku berfikir
kamulah yang salah, karna telah memaksaku terluka padahal ku bersedia menerima
itu bagian dari masalalumu, ku berfikir salah bila kamu menyakiti orang yang
ingin melihatmu bahagia bersama walau dengan cobaan berat namun sanggup
menahan. Terkadang ku berfikir aku jugalah yang salah, karna aku yang masuk
dalam hidupmu, aku yang berusaha agar kamu bangkit dan menikamti hidupmu yang
bahagia. Namun disisi lain ku berfikir dialah yang salah, karna kenapa harus
mempermainkan hati seseorang yang kan menjadikanya melukai orang yang berada
disisinya.
Sakit,
sakit saat kamu tuliskan dijejaringmu bahwa aku hanya pelarian semata bagimu,
sakit itulah yang aku rasakan. Padahal sejatinya ku tau kamu benar pernah tulus
mencintaiku, kamu kembali menulis luka yang membuatku seolah aku telah
menyakitimu, aku membuatmu terluka dalam. Kamu, dengan kejamnya mempertaruhkan
indahnya kisah kita pada ujung pedang, kamu membiarka aku terluka, kamu biarkan
aku menelan belahan kaca, kamu melukaiku.
Awalnya
ku berfikir mungkin terselip salahku yang membuatmu jenuh, sekuat hati ku
meminta maaf dan memohon dengan tangis agar kamu bertahan. Seperti dalam drama,
kamu usap air mataku, kamu angkat dahiku, namun karna airmataku bercucuran
hingga aku tak sanggup melihatmu, kamu ajak aku berdiri, menggandeng kedua
tanganku, mencium keningku dan memelukku seraya berkata “maaf aku membuatmu
menangis, jangan menangis lagi, aku tak sanggup melihatmu menangis”, kamu
mengiyakan untuk tetap bertahan. Aku bahagia dikala itu, hatimu kembali
menerimaku. Kulihat juga tulisanmu bahwa kamu tak ingin lagi membuatku
menangis, kamu hanya akan membuatku bahagia mulai dari sekarang.
Tapi
itu semua sepedes sambel. Hari berganti, berganti pulalah ungkapan hatimu.
Selayaknya kisah-kisah bahagia tentang kamu mencintaiku yang pernah kamu
tuliskan namun tak lagi kamu anggap ada.
Kamu
menuliskan luka-luka itu semata itu semua kamu lakukan hanya untuk menarik
kembali simpatik seseorang dari masalalumu, kamu ingin dia membaca semua
tulisan lukamu, hingga menutup mata hatimu tentang arti mengalah bagiku. Tanpa
disadari luka yang tercipta, luka yang tertulis sekarang bukan lagi tentang
luka satu orang, melainkan dua orang, dan aku termasuk didalamnya. Menjadikan
perasaanku sebagai bumerang, yang pada akhirnya kan melukai diri sendiri.
Sekarang
aku telah kamu lepaskan, bagaimana denganku? Entahlah, aku tak tau lagi apa
yang akan terjadi selanjutnya, bagaimana dengan hari-hariku, bagaimana dengan
detak jantungku yang semakin terasa sakit, entahlah.
Ah
kenapa aku sejahat ini? Tidak, ini bukan salahmu, bukan salahku atau salah
siapa-siapa. Ini hanya jalan cobaan untuk kita semua, ini takdir. Entah kenapa
aku selalu mengaitkan semua pada takdir, aku selalu kembalikan semua bahwa ini
jalan ujian.
Sayang,
kurelakan kau pergi. Jangan jadikan aku musuhmu, maaf untuk luka yg sudah
kutulis dalam lembaran kisahmu, ku mohon jangan benci aku, maaf untuk
segalanya.
Terkadang
terucap aku meralakanmu pergi, namun dihati terdalamku kamu masih ada dalam
do’aku.